Seorang pemuda pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Negeri Uncle Sam menjadi destinasi dari kehausannya akan ilmu. Singkatnya, tiga tahun berlalu. Pemuda itu dinyatakan lulus cum laude, dan memutuskan pulang ke kampung halamannya. Dengan asa dapat memajukan negeri asalnya dengan ilmu yang telah diperolehnya.
Dengan menumpang pada sebuah burung besi, pemuda ini memulai perjalanan pulang kampungnya. Selama melayang di antara kumpulan kapas awan, ia sejenak berpikir. Masih ada satu yang mengganjal. Dalam sanubarinya, ada hal penting yang selama ia belajar di negeri Uncle Sam tidak berjodoh dengan jawabannya. Bahkan seorang profesor dengan rentetan gelar di belakang namanya pun, sudah kehabisan ide untuk memecahkan "hal" itu.
Sesampainya di kampung kelahirannya, ia disambut suka cita oleh sanak-familinya. Seolah-olah bangga sekali melihat putra terbaik mereka telah menenteng gelar mentereng dari negeri jauh. Luar negeri. Melintasi cakrawala kampungnya. Sejenak pemuda tadi merebahkan diri di kursi bambu di depan rumahnya yang sederhana. Agak canggung memang, setelah 3 tahun lamanya hidup dalam "kutukan" teknologi modern. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk bernstalgia dengan kehidupan lamanya.
Babenya (Bapak) lantas mengajak berbincang putra semata wayangnya itu. Dirinya heran, kenapa di jidat putranya seperti terlihat beban berat yang menghinggapinya. Si pemuda tadi menceritakan kegelisahan batinnya kepada Babenya. Babe akhirnya tahu apa yang terjadi pada anaknya. Adzan senja berkumandang. Pertanda waktu sholat maghrib dan tidurnya para ayam jago. Babe pergi ke masjid, sementara si pemuda memilih untuk sholat di rumah.
Di masjid, Babe bertemu dengan seorang pemuka agama di kampungnya. Sebut saja Ustadz. Dalam benak Babe, mungkin Ustadz bisa membantu anaknya untuk menemukan jawaban dari "hal" yang mengganjal hatinya. Diajaklah Ustadz untuk mampir ke gubug sederhananya. Ustadz menyambut baik ajakan Babe. Di rumah, Babe memanggil anaknya (si pemuda). Dengan tubuh gontai dia datang ke ruang tamu, dan menemui Ustadz. Ustadz cukup paham kondisi si pemuda ini. Lantas ia berusaha mengakrabkan diri dengannya. Babe permisi ke belakang hendak membuatkan minum untuk Ustadz.
Selama Babe di belakang, si pemuda tadi mulai bercakap dengan Ustadz. Dia kemudian mengajukan permasalahan yang dialaminya kepada Ustadz. Ada 3 pertanyaan yang mengganggu hati dan pikirannya. Ustadz kemudian mengiyakan, dan Insya Allah dia akan mencoba menjawabnya.
Pertanyaan pertama, si pemuda tadi mulai bertanya, "Seperti apakah wujud Allah? Selama belajar di negeri Paman Sam, saya didoktrin segala sesuatu itu diukur dengan rasio. Dan tidaklah masuk di akal saya, Tuhan yang wujudnya kasat mata. " Ustadz mengangguk.
Kedua, lanjutnya, "Saya tidak bisa percaya pada takdir dan ketetapan Tuhan. Bagi saya, hidup manusia itu yang menentukan adalah manusia itu sendiri. Dengan berusaha dia akan mendapatkan apapun yang diinginkannya. Lalu untuk apa konsep takdir? Ini tidak masuk akal." Ustadz tetap tenang, sambil menatap tajam mata si pemuda ini.
Terakhir, "Yang saya tahu, setan itu diciptakan dari api. Kemudian kelak dia akan dimasukkan ke neraka. Sementara neraka juga berisi api yang menyala. Lalu apa gunanya memasukan api ke dalam api? Bukannya tidak ada efek apapun??" Ustadz berdiam sambil mengelus janggut tipisnya.
"Baiklah, saya akan mencoba menjawab", Ustadz membuka percakapannya. Ia mendekati pemuda itu, kemudia, Plak! Ia menampar pipi pemuda itu dengan keras.
"Ah! Apa-apaan ini!?" si pemuda tadi merasa tidak terima mendapat perlakuan dari Ustadz. "Saya bertanya baik-baik pada Anda, kenapa Anda berbuat kasar pada saya? Sudah saya duga, anda juga tidak akan mampu memecahkan masalah ini!", hardiknya.
Ustadz kembali duduk di tempat sedianya, kemudian mencoba menenangkan singa yang terbangun dalam diri pemuda itu. "Wahai Pemuda, itulah jawabannya", tungkas Ustadz.
"Jawaban apa? Saya sama sekali tidak paham dengan jawaban dari anda!", jawab si pemuda.
Yang dilakukan Ustadz bukan sesuatu yang tiada beralasan, maka dia menjelaskan pada pemuda itu.
"Ketika saya tampar tadi, apakah kamu merasa sakit?"
"Ya, sakit sekali malah!"
"Sekarang, bisa tunjukkan bagaimana wujud sakit itu??"
Si pemuda terdiam. Tercengang. Dia kemudian berpikir.
Ustadz melanjutkan, "Itu jawaban dari pertanyaanmu yang pertama. Allah memang tidak terjangkau oleh indra makhlukNya. Tapi Dia bisa kita rasakan."
"Saya tanya lagi, apakah kamu sudah mengira bahwa saya akan menamparmu?"
"Tidak!", jawab pemuda.
"Apakah kamu sudah memprediksi bahwa saya akan datang bertamu ke sini?"
Pemuda menggelengkan kepalanya.
"Itulah takdir dan ketetapan Allah. Kita tidak akan bisa lepas dari itu. Dan semua yang terjadi di dunia ini, telah tertulis dalam sebuah Kitab. Dan pasti terjadi.", Ustadz meneruskan jawabannya.
Pemuda tadi melai merenungi 2 jawaban tersebut. Lalu dia bertanya, "Bagaimana dengan pertanyaan saya yang ketiga?"
Ustadz tadi tersenyum, lalu berkata, "Tangan saya ini terbuat dari apa?"
"Kulit", jawab si pemuda.
"Pipimu terbuat dari apa?"
"Kulit juga", pemuda tadi kembali menjawab.
"Kulit bertemu kulit sakit tidak?"
"Sakit", kata pemuda itu.
"Begitu juga api bertemu dengan api. Inilah kekuasaan Allah", papar Ustadz.
Babe kemudian datang membawa tiga cangkir seduhan daun teh di belakang rumah. Setelah dipersilakan, Ustadz menyeruput seduhan teh tersebut. "Hai pemuda, itulah jawabannya. Sudahkah masuk dalam rasiomu? Selebihnya Allah yang Maha Tahu", Ustadz menyalami pemuda, kemudian pamitan pulang pada Babe.
Hari itu, pertama kalinya si pemuda tertegun. Seorang Ustadz biasa, yang hanya lulus Pondok Pesantren, mampu memberi "tamparan keras" pada dirinya. Seorang mahasiswa S2. Lulusan luar negeri. Negeri Uncle Sam. Tepat sesuai janjiNya, Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, namun tawadhu' dengan ilmunya. Dan Allah menghinakan para pencari ilmu, yang ilmunya berujung pada kesombongan intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar